Oleh: Mitsuo Nakamura
Selama 100 tahun keberadaannya, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial. Kontribusi ini tak terbatas pada masyarakat Muslim, tetapi juga masyarakat non-Muslim, seperti terlihat pada adanya sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Bersama Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terpenting di negeri ini dan menjadi representasi suara Islam moderat. Di tingkat global, barangkali tak ada organisasi Islam modern yang bisa menandingi amal usaha Muhammadiyah.
Memudar dan Kurang Dinamis
Namun, peran Muhammadiyah pada beberapa dekade belakangan ini seperti agak memudar. Secara eksternal, berbagai kelompok transnasional, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang muncul pasca-tumbangnya Orde Baru, mampu berkompetisi dan menandingi Muhammadiyah. Secara internal, berbagai infiltrasi, seperti dari Partai Keadilan Sejahtera, memengaruhi gerak langkah Muhammadiyah. Di tubuh organisasi ini juga terjadi konflik di antara tiga kubu: kelompok Salafi yang cenderung skriptualis dan konservatif, kelompok moderat yang memadukan puritanisme dan modernisme, serta kelompok liberal yang menganggap Muhammadiyah terlalu kaku dan menghargai keimanan individu.
Persoalan yang menimpa Muhammadiyah saat ini tak hanya pada tingkat ideologi. Amal usahanya pun menghadapi banyak masalah. Dulu, Muhammadiyah adalah pionir dalam bidang pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, kini sebagian dari lembaga pendidikan milik Muhammadiyah terlihat ketinggalan zaman, kalah bersaing dengan sekolah internasional, Sekolah Islam Terpadu, dan sekolah milik kelompok Salafi yang didukung dana dari Timur Tengah.
Dalam bidang filantropi, Muhammadiyah juga agak kalah lincah dan gesit dibandingkan organisasi baru, seperti Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Ummat. Rumah sakit Muhammadiyah juga tak berbeda dari rumah sakit pada umumnya yang dikelola dengan motif komersial dengan tarif tinggi. Bahkan, beberapa rumah sakit Muhammadiyah kalah kualitasnya dari puskesmas.
Secara organisasi, beberapa pengamat menilai bahwa Muhammadiyah kini kalah dinamis dibandingkan dengan NU dalam ideologi. Organisasi yang dulu diasosiasikan dengan kaum sarungan dan kolot itu kini tampak lebih progresif dan reformis, terutama sejak dipimpin Gus Dur tahun 1980-an.
Beberapa hal itulah yang menjadi tantangan berat bagi Muhammadiyah ketika organisasi ini mencapai umur satu abad yang diperingati pada 18 November tahun ini. Karena itu, ulang tahun kali ini dirasakan tidak cukup dengan dirayakan di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan di beberapa tempat lain di Indonesia.
Perayaan itu sendiri penting dilakukan sebagai bentuk syukur dan karena ini adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidup buat para anggota dan simpatisannya. Kalau nanti Muhammadiyah mampu bertahan hingga 200 tahun, pasti bukan generasi sekarang yang akan menjumpainya.
Namun, yang lebih penting dari perayaan seremonial adalah menemukan kembali (rediscovery) dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah untuk abad kedua. Inilah di antaranya mengapa sejumlah aktivis-sarjana Muhammadiyah dan pengamatnya dalam negeri bekerja sama dengan beberapa sarjana asing, seperti saya sendiri, MC Ricklefs, James Peacock, Robert Hefner, Hyun-Jun Kim, Jonathan Benthall, Robin Bush, Martin van Bruinessen, Nelly von Doorn Harder, dan sebagainya, menyelenggarakan konferensi-riset internasional tentang Muhammadiyah (International Research Conference on Muhammadiyah/IRCM) di Malang, 29 November-2 Desember 2012. Saya juga berterima kasih kepada Ahmad Najib Burhani dari LIPI yang telah membantu saya dalam penyusunan tulisan ini.
Tantangan ke Depan
Dengan kecepatan globalisasi dan teknologi yang luar biasa, masih mampukah Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang progresif (berkemajuan) dan dinamis? Di tengah gelombang Salafisme dan Islamisme, mampukah Muhammadiyah tegak mempertahankan dan merevitalisasikan identitasnya? Di tengah kebangkitan kembali hal-hal tradisional dan lokal sebagian karena desentralisasi, khususnya revival kejawen, bagaimanakah organisasi ini mesti bersikap? Inilah beberapa tantangan Muhammadiyah ke depan yang akan dicoba dibahas di konferensi sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang.
Tentunya tantangan besar yang dihadapi Muhammadiyah ke depan tak bisa diselesaikan dengan konferensi atau dalam sebuah konferensi. Meski berupaya membedah berbagai aspek kemuhammadiyahan sejak organisasi ini didirikan 18 November 1912, apa yang dilakukan para sarjana domestik dan asing hanyalah diagnosa dan sebagian dari mereka yang berhaluan ”intelektual organik”, mungkin dapat memberikan resep obat.
Namun, untuk bisa bangkit kembali, perlu langkah sistematis dari pengurus Muhammadiyah sendiri, kesadaran warga Muhammadiyah, dan barangkali dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah ataupun kelompok masyarakat madani yang lain. Pada tingkat teoretis, langkah itu mungkin bisa dimulai, misalnya, dengan mereformulasi teologi al-Ma’un yang selama ini menjadi prinsip gerak dan darah amal usaha Muhammadiyah dalam usaha membantu para orang-orang yang miskin, lemah, dan tertinggal.
Semangat ”kembali ke Al Quran dan Sunah” dan semboyan amar makruf nahi mungkar yang menjadi ruh reformasi keagamaan di Muhammadiyah juga perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi ataupun proyek kegiatan yang konkret. Cita-citanya yang dituntut”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dan ”peradaban unggul” juga perlu dioperasionalisasikan dengan ukuran empiris. Dan, khususnya dalam lingkungan plural, konsepfastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) juga mungkin perlu mendapat suntikan lagi dengan darah baru dan diperluas tak sekadar kompetisi sesama warga Muhammadiyah, tetapi juga kompetisi dan kerja sama dengan masyarakat beragama lain sebagai sesama manusia yang hidup berdampingan dalam global village pada dunia kekinian. (*)
* Dimuat di Harian Kompas, 23 November 2012
** Professor Emeritus, Chiba University, Japan;; penulis The crescent arises over the banyan tree: A study of the Muhammadiyah movement in a central Javanese town, c. 1910s-2010. 2nd Enlarged Edition, (ISEAS, 2012).
Sumber: Khitta 18 April 2016